Wednesday, October 8, 2008

Antara Jahiliyah dan Rennaisance

Angkatan '99 memasuki kampus saat masa "jahiliyah" (perhatikan; jahiliyahnya dalam tanda kutip) menjelang masa "rennaisance" ditinjau dari pemakaian jilbab para perempuan; mahasiswi atau dosen. Mahasiswa program ekstensi masih kuliah malam, kantor Senat Mahasiswa Fakultas Hukum (sekarang BEM) masih menempati gedung tua di lingkup pelataran Mesjid Darussalam dan lapangan tugu masih jadi wahana percintaan mahasiswa ataupun warga. Masih ada lagi, gedung FKIP lama masih berdiri (meski manusia jarang bertandang) sebelum kalah suksesi dengan Auditorium Akademik Dayan Dawod Centre yang lebih megah, modern dan berastitektur up to date.

Masa-antara itulah Unsyiah begitu identik dengan stereotipe kampus dalam hayalan. Bersahaja karena masih lekat dengan civitas academica maupun rakyat di sekitar KOPELMA. Lembu milik warga Limpok masih sering berjibaku menghadapi kejaran SATPAM kampus yang menderumkan mesin mobil patroli, mengancam gerombolan mereka yang asik merumput. Para pecinta masih bernaung bersama kekasih di bawah rindang-samar tajuk damar laut (Casuarina Equisetifolia) di Lapangan Tugu yang berseberangan dengan Gedung Biro Rektorat.

Beberapa bulan berselang, peraturan baru diundangkan, setiap perempuan yang bernaung di kolong langit Aceh wajib menggunakan jilbab. Telah disepakati bersama bahwa manusia mengenakan jilbab di kepala, sama seperti helm. Meski tak pakai kaca, jilbab melindungi perempuan dari pantauan penguasa dan penjaga nilai Aceh. Habis "jahiliyah" terbitlah "rennaisance."

Sejatinya kewajiban berjilbab tak berlaku bagi perempuan bukan muslim. Tak kusangka, tak kuduga, kawan perempuanku yang beragama Kristen juga ikut menyemarakkan dunia perjilbaban. Dwi Florence, akrab disapa Yeyen (bukan nama sebenarnya) sempat memakai jilbab jua. Sweeping jilbab liar yang sering terselenggara di Aceh mendorong Yeyen mencari titik aman. Dan, dia memang aman sampai tamat.

Mulanya, para Pemuja Malam merasa kecewa. Bagi mereka yang belakangan terbit justru kajahiliyahan bagi kajahiliyahan pikiran mereka. Obrolan warung kopi membahas panjang-lebar topik kemolekan tubuh yang sangat rennaisance bagi mereka. Tak lama berselang para wajib jilbab memelintir kewajiban internal Aceh. Mereka benar-benar mengimplementasi "WAJIB JILBAB" yang tertulis dalam peraturan. Pakaian ketat menjadi padanan jilbab menebari Aceh hingga pelosok. Sebab, pemerintah yang menguasai kekuasaan hanya mewajibkan jilbab, tak jadi soal pakaian apa, atau bagaimana cara pakaian melekat. Akhirnya banyak perempuan Aceh yang berpakaian ala lontong. Memenuhi kejahiliyahan pikiran gelap para Pemuja Malam.

Akhirnya, "Habis 'Jahiliyah' Terbitlah 'Rennaisance'", kata seorang Pemuja Malam.

No comments: