Tuesday, October 21, 2008

Parte Bawah Pohon

Tertulislah kisah, tentang seorang pedagang buah yang tak marah meski sembarang manusia menabalkan nama Samidun tanpa sajen kambing berkuah. Bawah pohon seberang Kampus Hukum dan RKU I ia berdagang, membuka kios rokok untuk penghuni kampus. Cemilan, buah segar dalam kotak kaca semacam aquarium. Sebatang pohon waru (Hibiscus Tiliaceus) tak setia selalu menemaninya. Saat musim gugur daun, pergilah rindang sejenak, rindang yang biasa menaungi.

Secara geografis, koordinat kios Samidun lebih dekat dengan RKU I. Entah sebab apa yang menjadikan kawasan kios berbangku panjang tiga bilah miliknya seolah dikuasai masiwa FH-USK, terutama stambuk '99, '01, '02, '03 dan '04.

Warga kampus memang terbelah sambil membangun klasifikasi identitas kecondongan jiwa. Meski tak sepelik klasifikasi Carolus Linnaeus, mereka hadir, ada. Sebagian mengikrarkan diri sebagai anak band, anak balap, anak gunung (MAPALA), anak mami-papi. Macam lah tingkah mereka. Setiap kelompok menunjukkan eksistensi dengan pola khas. Mulai gaya pakaian, tempat nongkrong, bahasa, orientasi politik, buku bacaan sampai standar memilih pasangan. Kalau anggota komunitas tidak sepakat, gagallah perjuangan PDKT berbulan waktu.

Kembali ke Samidun dan pohon waru eh... kiosnya. Setiap hari kios Samidun yang sudah terlanjur didominasi mahasiswa FHUSK dibuka dengan ritual berikut:
Jam 07:00 WUSK, Samidun mendorong kios (yang berasal dari perkawinan silang antara roda kereta sorong) dengan kabin berukuran 75 X 1,5 X 2m. Ritual kedua ditandai dengan menyusun barang dagangan sambil sesekali melayani pelintas menuju FK, FP, FT atau FK yang butuh rokok. Ritual ketiga ditandai dengan pengupasan nanas (Ananas Comosus), Pepaya (Carica Papaya Lin.), bengkuang (Pachyrhizus Erosus), Timun (Cucumis Sativus L.), dan kalau sedang musim sawo (Acrhras Zapota L.)tak luput dari penelanjangannya.

RKU yang menjadi wilayah transit perkuliahan lintas fakultas menjadikan Samidun Kiosk idola mahasiswa FHUSK. Sirkulasi mahasiswa antar kampus yang reguler dan gradual (tiap smester dijamin hadir wajah cantik dan ganteng versi baru), membuat Samidun menuai berkah. Analisis Feng (Hong) Sui sekelas Kang Hong Kian akan menempatkan lapak kios Samidun sebagi pengisi deretan 5 besar lokasi dagang strategis di USK.

Kondisi yang sangat kondusif dan signifikan bagi mata dan jiwa jenuh semacam Kios Samidun menjadi incaran mahasiswa FHUSK. Coba bayangkan (jangan pernah lupa membaca anak kalimat semacam ini dengan gaya khas Pak Si'Ib), siapa sih yang rela melepas tempat strategis dengan dukungan kondisi yang optimal berlandaskan analisis Feng (Hong) Sui, Graf, Tata Ruang, atau Primbon sekalipun.

Maka, tanpa perlu komando berapi-api ala orator demonstran atau komandan upacara militer, mahasiswa FHUSK memncangkan eksistensinya dalam radius 100m Kios Samidun. Hingga Aji sang pengocok perut memelesetkan namanya dengan irama lagu Semusim-nya Marcell Siahaan.
"Sa... mi... dun... t'lah kulewati, tlah kujalani tanpa dirimu" senandung Aji berkumandang.

Makhluk buntek-buntel-bantet satu ini memang paling bisa memelintir serius menjadi kelakar. Reputasi mahasiswa FHUSK di kios Samidun yang mulanya didominasi angkatan '99 menjangkit, rapidly. Perjalanan waktu mendorong lahirnya sebutan untuk komunitas penghuni tetap kisaran kios Samidun. Parte Bawah Pohon. Parte mungkin berasal

Nama ini memiliki landasan historis-sosiologis-psikologis-geografis-politis-ekonomis-meteorologis-antropologis-medis-magis. Jaaa... uuu... hhh sebelum Samidun menambatkan jangkar kiosnya di antara kampus hukum dengan RKU I, komunitas ini memang sudah ada meski tanpa nama. Mari kita bahas latarbelakang nama Parte Bawah Pohon. Secara historis, komunitas ini memang suka ngumpul di awah pohon rindang, Yah Noe Cantinoe seringkali terlalu ramai dan pengap karena jarak lantai dengan atap seng (yang berperan menambah panas) hanya 2 meter. Secara sosiologis kerindangan pohon menjadi tempat yang menarik karena memancing kerumunan, obrolan dan keramaian. Secara psikologis, naungan kanopi pepohonan rindang sangat mendukung motivasi semangat hidup. Secara geografis, pohon rindang memadati lingkungan kampus, dekat dengan lapak jajanan, dan pemandangan sosok molek dan tampan. Secara politis (sudah terbukti efektif dalam meng-goal-kan Zulfan Amru sebagai ketua BEM-FHUSK), bawah pohon menjadi sarana efektif mengorganisasi perolehan suara PEMIRA FHUSK. Secara ekonomis, bawah pohon dengan segala keramaiannya tidak merobek kantong untuk menuai kebahagiaan. Kalau nggak ada rokok bisa pancungan dengan yang sedang merokok. Secara meteorologis, cuaca rindang bernuansa ceria melindungi jangat dari hunjaman terik mentari. Secara antropologis, manusia memang menyukai kerindangan dan warna hijau-ranau. Secara medis, warna hijau daun menyehatkan mata, selain itu hasil respirasi CO2 menjadi O2 oleh chlorophill membantu memulihkan paru yang terlalu akrab dengan nikotin.

Thursday, October 16, 2008

Saat Selamat saja tak Cukup

Dua lagi kawan menikah. Kawan seangkatan kuliah. Dhanny dan Rini. Setelah ritual bermacam lewat mereka resmi memasuki ambang kamar pengantin, halalan thoyyiban. Tak lagi berdaya adat dan agama menghadang kalian berdua memasukinya. Kawasan yang dulu berpagar moral dengan tulisan "Restricted Area...!!!" berganti dengan "Welcome...". "Selanjutnya terserah anda..." kata sebuah iklan.

Memandang hamparan jalan panjang yang akan menjadi lintasan setiap pasangan suami-istri, seharusnya hamburan kata "Selamat" juga dilengkapi dengan "Hati-hati di jalan...", "jaga diri baik-baik..." atau "Jagalah kehormatan keluarga kalian". Yah... mungkin saja segala kalimat versi warning di atas sudah berhambur saat kedua keluarga menjalin pra-kondisi perkawinan. Namun, hadirin yang mengiring dan mengunjung acara juga perlu mengucapkannya.

Akhirnya satu lagi perjalanan panjang percintaan sepasang insan berujung di singgasana pelaminan. Harap menyimpan segala kekhawatiran, biarkan sepasang belahan jiwa menemukan kepingan puzzle yang harus menempati bagian kosong untuk melengkapinya. Genderang hasrat telah bertalu membelah udara sebab cinta menabuhnya.

Selamat menjalani asmara tanpa sekat norma yang dulu membatas. "Perhatian... Perhatian...!!! Hadirin dipersilahkan meninggalkan gelanggang, biarkan sepasang kasih matang saat gairah memanggang....!!!"

Berbahagialah sepasang kawan kita.

Wednesday, October 8, 2008

Mengembalikan Kedaulatan pada Manusia

KE... CE... WA... ( baca dengan gaya TER... LA... LU...-nya Khak Rhoma). Begitu kesan yang terbit saat membaca http://kualaide.blogspot.com/2008/10/mengingat-sejarah-menuju-acehisme-dan.html.

Aceh. Hari jadi 7 Desember 1959. Koordinat 2°-6° LU dan 95°-98° BT. Dasar Hukum UU RI No. 24/1956, UU RI No. 44/1999 UU RI No. 18/2001, UU RI No. 11 2006. Begitu tega Bung kualaide menggiring wilayah sesempit 57,365.57 km2 per segi yang merangkum 12.26% pulau Sumatera, 119 buah pulau, 73 sungai besar dan 2 danau, ke tepi jurang kehancuran? Tak cukupkah pertikaian dan bencana menggerus akal sehat penghuni tanah duka? Acehisme, kedaulatan Aceh....???!!! Boh pue lee nyan? Sempit, sesak, sumpek, susah dan sakit.

Bung kualaide harus memahami banyak orang membaca ide dalam tulisannya. Jika (semoga tidak) pembaca meresapi dan membaca secara taqlid apa yang akan terjadi. Dampak terbesar yang akan muncul berwujud chauvinisme, dampak minimalnya bisa saja jelmaan kesesatan pikir yang melanda pembaca. Coba bayangkan (baca dengan gaya Pak Su'ib).

Mungkin romantisme sejarah yang buta bisa meracuni pikiran anda. Namun, jangan melupakan dampak di luar jangkauan analisis/perhitungan anda. Gawat betul itu. Bahaya sangat bagi kelangsungan dan hajat hidup orang banyak. Mengapa harus merasa lebih dengan kekayaan tanah dan jajaran catatan buku berjudul sampul duka? Sudah biasalah kalau tanah kaya rakyat nggak makmur. Manusia di atas tanah kaya selalu merasa aman karena "Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman". Jangan sundek kalau mengalami fenomena buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki. Kesalahan bukan berasal dari layar televisi anda, bisa saja karena salah merk atau salah memilih stasiun.

Ada apa ini...? Ada apa ini...? Ada apa ini...? (pakai gaya Tora Sudiro). Kemana pergi kecemerlangan pemuda bertalenta? Seharusnya anda menarik rakyat untuk menghindari tubir jurang sesat pikir. Membawa rakyat untuk bekerja, mengembalikan kedaulatan pada manusia, bukan menggiringnya dalam kegelapan sesempit kotak korek api atau tabung pemantik otomatis berjuluk Acehisme atau kedaulatan Aceh. Segurat harap membersit dari benang cahaya harapan, semoga Bung kualaide dapat membuka keran pemikiran yang tersumbat jumud zaman agar pikiran segar tak menjelma air comberan.

Semangat Aceh yang anda miliki menjadi modal yang cukup untuk membangun kemanusiaan. Kegelisahan Aceh yang anda tunjukkan berpeluang menjadikan anda Supermodel eh... salah, berpeluang menjadikan anda manusia yang akan mengembalikan kedaulatan kepada manusia, sebab anda manusia yang sangat manusia. Tragedi melahirkan trauma. Namun, bukan alasan pembenar untuk mencerabut manusia dari kemanusiaannya.

Akhir kata:
buah strawberry warnanya merah
kalau nggak happy jangan marah

(Menanggapi arus deras ide Bung kualaide di luar bingkai nasionalisme untuk menghindari bias sentimen Aceh-Jakarta).

Antara Jahiliyah dan Rennaisance

Angkatan '99 memasuki kampus saat masa "jahiliyah" (perhatikan; jahiliyahnya dalam tanda kutip) menjelang masa "rennaisance" ditinjau dari pemakaian jilbab para perempuan; mahasiswi atau dosen. Mahasiswa program ekstensi masih kuliah malam, kantor Senat Mahasiswa Fakultas Hukum (sekarang BEM) masih menempati gedung tua di lingkup pelataran Mesjid Darussalam dan lapangan tugu masih jadi wahana percintaan mahasiswa ataupun warga. Masih ada lagi, gedung FKIP lama masih berdiri (meski manusia jarang bertandang) sebelum kalah suksesi dengan Auditorium Akademik Dayan Dawod Centre yang lebih megah, modern dan berastitektur up to date.

Masa-antara itulah Unsyiah begitu identik dengan stereotipe kampus dalam hayalan. Bersahaja karena masih lekat dengan civitas academica maupun rakyat di sekitar KOPELMA. Lembu milik warga Limpok masih sering berjibaku menghadapi kejaran SATPAM kampus yang menderumkan mesin mobil patroli, mengancam gerombolan mereka yang asik merumput. Para pecinta masih bernaung bersama kekasih di bawah rindang-samar tajuk damar laut (Casuarina Equisetifolia) di Lapangan Tugu yang berseberangan dengan Gedung Biro Rektorat.

Beberapa bulan berselang, peraturan baru diundangkan, setiap perempuan yang bernaung di kolong langit Aceh wajib menggunakan jilbab. Telah disepakati bersama bahwa manusia mengenakan jilbab di kepala, sama seperti helm. Meski tak pakai kaca, jilbab melindungi perempuan dari pantauan penguasa dan penjaga nilai Aceh. Habis "jahiliyah" terbitlah "rennaisance."

Sejatinya kewajiban berjilbab tak berlaku bagi perempuan bukan muslim. Tak kusangka, tak kuduga, kawan perempuanku yang beragama Kristen juga ikut menyemarakkan dunia perjilbaban. Dwi Florence, akrab disapa Yeyen (bukan nama sebenarnya) sempat memakai jilbab jua. Sweeping jilbab liar yang sering terselenggara di Aceh mendorong Yeyen mencari titik aman. Dan, dia memang aman sampai tamat.

Mulanya, para Pemuja Malam merasa kecewa. Bagi mereka yang belakangan terbit justru kajahiliyahan bagi kajahiliyahan pikiran mereka. Obrolan warung kopi membahas panjang-lebar topik kemolekan tubuh yang sangat rennaisance bagi mereka. Tak lama berselang para wajib jilbab memelintir kewajiban internal Aceh. Mereka benar-benar mengimplementasi "WAJIB JILBAB" yang tertulis dalam peraturan. Pakaian ketat menjadi padanan jilbab menebari Aceh hingga pelosok. Sebab, pemerintah yang menguasai kekuasaan hanya mewajibkan jilbab, tak jadi soal pakaian apa, atau bagaimana cara pakaian melekat. Akhirnya banyak perempuan Aceh yang berpakaian ala lontong. Memenuhi kejahiliyahan pikiran gelap para Pemuja Malam.

Akhirnya, "Habis 'Jahiliyah' Terbitlah 'Rennaisance'", kata seorang Pemuja Malam.

Universitas Syiah Kuala

Kawasan Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam (sebutan singkatnya KOPELMA) berhias jajaran pohonan Tanjung (Mimusops Elengi), Mahoni (Swietenia Macrophylla), Ekaliptus (Eucalyptus Globulus), Sirsak (Annona Muricata L.). Sebelum gapura pembangunan gapura beton yang sekarang menyambut pendatang, sebuah pamplet beton di tubir lapangan bola menjadi penanda. Meski kawasan Kampus Unsyiah juga termasuk sebagian bantaran Krueng Aceh.


Kuliah

Seperti kebanyakan komunitas lain, kami memiliki latarbelakang beragam. Anak petani, peternak, nelayan, guru, anggota dewan, kuli bangunan, PNS, PNM, pedagang, mugee dan profesi lain yang mungkin tak berkategori. Berbekal jadwal kuliah dalam KRS, bermula sebuah kewajiban untuk mengubah jadwal aktivitas hidup. Berikut mata kuliah yang tertera di KRS:

1. Pengantar Ilmu Hukum : 4 SKS
2. Pengantar Hukum Indonesia : 4 SKS
3. Bahasa Indonesia : 2 SKS
4. Pendidikan Agama Islam : 2 SKS
5. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan : 2 SKS
6. Ilmu Alamiah Dasar : 2 SKS
7. Sosiologi : 2 SKS
Total 18 SKS

Angkatan 99 dibagi dalam tiga kelas yang mengadopsi tiga alphabet pertama, A-B-C. Perasaan aneh sempat hinggap saat kuliah, beberapa senior yang menggembleng kami di lapangan mesjid Darussalam ternyata ada yang mengulang di kelas yang sama. Mereka menghuni kelas C (kelas C memang menjadi sarang bagi mahasiswa yang mengulang atau memperbaiki nilai matakuliah). Kebanyakan senior mengulang atau memperbaiki matakuliah Pengantar Hukum Indonesia, T. Gazali SH (berpindah alam karena usia dan penyakit) menjadi koordinator matakuliahnya.

Uniknya, Papi (sebutan populer untuk almarhum Pak Gazali) selalu membagi mahasiswa ke dalam lima kelompok, sesuai jumlah shaf bangku yang kami duduki. Tak ada yang boleh mengganti tempat duduk. Macam di sekolah aja. Beda dengan pengelompokan kelas angkatan termuda yang menggunakan huruf alphabet, Papi menyebut tiap kelompok dengan representasi angka 1-5.

Bersambung...

Tuesday, October 7, 2008

"Kawasan Anti-Militer" Pengidap Militeristik-Obsesif Akut

Anak kalimat dalam lingkup tanda petik di judul yang paling berkesan dalam momen OSPEK selain nama SaMPAH (Pengasahan Mental dan pengenalan Kampus Aneuk Hukom), cara senior menyebutkan OSPEK versi mereka. Semangat gerakan reformasi '98 masih terasa saat kami memasuki gerbang kampus fakultas ketiga Universitas Syiah Kuala. Tulisan yang tersemat pada alat mirip pembatas parkiran berbentuk gawang. Kami semua harus menunduk melewatinya. Ya... kami harus melewatinya untuk mencapai lapangan Mesjid Darussalam, tempat kami menerima pendidikan meski kadang plonco menyelinap tanpa mengendap.

Sekitar 200 mahasiswa yang secara administratif, atau istilah hukumnya de facto, telah cukup syarat diterima di kampus harus melakukan ritual merayap di bawah gawang kecil selama tiga hari. SaMPAH menjadi ajang penerimaan de facto, "hukum adat" kalau istilah kami sehari-hari. Komunitas penyelenggara dan peserta SaMPAH hanya mampu memberi sanksi moral, semacam pengucilan kecil untuk mahasiswa yang tidak menjalani. Bernaung di bawah semboyan "Tak ada kesalahan tanpa hukuman, Tak ada hukuman tanpa kesalahan" kami melewati 9-10 jam yang menyiksa dikali tiga hari.

Istilah hukum dan sosial yang sedang konstekstual mengalung di dada kami. Selembar karton yang bergelantungan di seutas tali plastik. Kami dibagi dalam empat kelompok berbeda, warna tulisan di dada sesuai dengan nama kelompok. Seingatku (boleh diralat kalau salah) nama kelompoknya, Sosialis, Liberal, Fasis dan Kapitalis. Istilah dan orang yang kuingat; Zina (Zulfan Amru) dan PPRM (Said Yan Ferizal). Tiap peserta harus menggantung kantong yang juga bertali plastik menyelempangi bahu. Masih ada lagi, semua juga harus menyelempangkan cangkir merah yang lagi-lagi disematkan di bahu dan lagi-lagi dengan tali plastik. Hhh... susah. Hayo... coba bandingkan dengan barisan militer yang juga mengandalkan bahu meski tak mengguna tali plastik untuk menggantungkan senapan, ransel dan radio lapangan. Militer nggak...???

Secara keseluruhan kami dipimpin seorang Danton (Komandan Peleton), sementara Danru (Komandan Regu) memimpin setiap kelompok (Koq mil... ah... sudah lah). Awalnya Iskandar Muda (dikenal dengan panggilan Ismu, berpindah alam sebagai korban tsunami) menjadi Danton. Namun, setelah Ismu menangis penuh "haru-biru-lembam" mengapresiasi kesediaan peserta lain menanggung kesalahannya sebagai pemimpin, Mentor menganggap Ismu terlalu cengeng.

Padahal Ismu bercasing rangka paling besar, berkulit paling hitam, berwajah paling sangar dan menyeramkan di antara 200-an mahasiswa angkatan '99. Sulit menemukan kelemahan fisik dalam figurnya. Proses perkawanan menambahkan kesangaran sosok Ismu. Dia pernah mengikuti seluruh tes masuk militer dan kepolisian tapi semua instansi miiliter menolaknya. Zicky Zulkarnaen menggantikan posisinya dengan pertimbangan kelantangan suara dan postur tubuh yang bodyguard sangat. Belakangan Zicky juga menangis karena dipaksa mencukur kumis, tapi tak sempat kehilangan jabatan sebagai Danton (what a lucky Zicky).

Ritual pagi dimulai dengan berbaris, lalu senam. Pemandunya Amri, letting '98 (meninggalkan kehidupan sebagai korban tsunami). Katanya anti militer, koq jadi militer sangat...?! Xe...xe...xe... Masih ada lagi; "Komando saya ambil alih...!!!", menjadi kalimat paling populer waktu itu. Paling sering kudengar keluar dari mulut Bang T atau Teuku Alfiansyah (nama samaran). Kaya'nya kebencian bisa menginduksi nilai pihak atau orang yang dibenci ke dalam diri si pembenci Gwakakakak...

Setiap peserta dilarang mencapai kampus dengan jasa antar jemput sopir, kakak, abang, tetangga, handai taulan, bapak, mamak, kepala suku tanpa kecuali. Semua harus naik angkutan umum, meski terlihat nggak umum. Misalnya truk pasir, itu 'kan angkutan umum yang terlihat nggak umum. Tapi tak mengapa asal jangan diantar. Say it one more time; (Pake' gaya bentakan) "ASAL JANGAN DIANTAR...!!!"

Masih ada lagi, setiap peserta lelaki harus memotong rambut setengah centimeter (memangnya ada tukang pangkas yang mau ngukur tiap helai rambut...?). Nggak boleh pakai wewangian, lipstik (yang ini untuk peserta perempuan), lipgloss, lipbalm de el el de es be. Hufffhhh...

Penyelenggara kegiatan terbagi dua, panitia dan mentor. Panitia bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan logistik kegiatan. Mentor bertanggungjawab memberikan materi kepada peserta (yang ini baru tau setelah kuliah dan terlibat dalam penyelenggaraan SaMPAH).

Yang paling mantap salam kampus, saat itu Bang Imran Mahfudi atau Boim (nama samaran) yang memperkenalkan dan memandu. Begini caranya:
Harus ada komando; "Salaaa...m (jeda seperseratus detik) Fakultas....!!!" Pada saat suku kata 'tas' yang berujung suara menghentak belum kehilangan gema, peserta harus sudah berposisi rukuk dengan tangan tegak-sejajar kaki (lagi-lagi militer minded). Setelah jeda sepersepuluh detik "Mulai...!!!". Berposisi rukuk peserta bertepuk tangan 3 kali, menepuk paha dengan tapak tangan 3 kali, menghentakkan kaki ke bumi 3 kali, menegakkan badan dan mengepalkan tangan kanan teracung ke udara sambil berucap "BERSATU MENUJU PERUBAHAN HUHHH...!!!" 'HUH' diucapkan penuh semangat sambil meninju ke arah langit. Tangan diturunkan sejajar badan yang sudah harus tegak usai 'HUH' menggema. Runutan suara yang timbul tanpa penjelasan sebagai berikut:
"Salam... Fakultas... MULAI...!!! Prok...prok...prok... Prok...prok...prok... Brug...brug...brug... "BERSATU MENUJU PERUBAHAN HUHHH...!!!" (Efek gema on).
Jadi ingat prok...prok...prok... dalam lagu Aku Seorang Kapiten. Eh... Kapiten itu militer juga 'kan... Xi...xi...xi...

Hufhhh.. udah dulu ya... lain kali kita sambung cerita tentang SaMPAH. Tolong kasi masukan untuk merekonstruksi kenangan yang mungkin bermakna beda bagi tiap kawan seangkatan, tentu saja yang ikut SaMPAH. Ha...??? Apa...???? Ya udah pasti lah... Peyex nggak termasuk di dalamnya. Peyex 'kan nggak ikut SaMPAH. Bisa banyak yang komplain kalau Peyex ikut. Meskipun ada cerita usai SaMPAH yang memaksa Peyex berperan sebagai pesakitan karena nggak ikut. Khusus untuk tema SaMPAH aja, untuk cerita lain Julia Peyex boleh ikut. Maklumlah... Peyex masuk kategori orang yang terlibat dalam eR U Pe eS '99.

Ya udah lah Ganxz, aku cabut dulu. Akhirul kalam;
Istri Pojant namanya Yuyu
See You